DomaiNesia

Sabtu, 17 Juli 2021

Oseltamivir-Azithromycin Tak Lagi Disarankan, Paket Isoman Covid-19 Berubah?

Tingginya permasalahan Corona (COVID-19) di Indonesia menghasilkan undangan obat-obatan dan vitamin meningkat. Warga rela antre ke apotek demi berbelanja kebutuhan. 
  Foto: Andhika Prasetia

Jakarta - Rekomendasi modern para dokter tidak lagi memasukkan Oseltamivir dan Azithromycin sebagai obat terapi utama COVID-19. Padahal, obat-obat tersebut ada dalam paket isolasi dapat bangun diatas kaki sendiri (isoman) COVID-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Gimana tuh?

Perubahan usulan obat untuk isoman tercantum dalam Revisi Protokol Tatalaksana COVID-19. Rekomendasi disusun oleh 5 perhimpunan profesi dokter spesialis, yakni:

  • Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
  • Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI)
  • Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
  • Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN)
  • Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)

Dalam usulan tersebut, Oseltamivir cuma diberikan pada pasien isoman yang dicurigai memiliki koinfeksi influenza. Sedangkan Azithromycin cuma diberikan jika ada kecurigaan koinfeksi mikroorganisme atipikal.

Sementara itu, dikutip dari laman resmi Kemenkes, Oseltamivir dan Azithromycin tergolong dalam paket B untuk pasien isoman COVID-19 bergejala ringan. Lengkapnya, paket tersebut berisi obat-obat selaku berikut:

  • Multivitamin
  • Azithromycin 500mg
  • Oseltamivir 75mg
  • Parasetamol tab 500mg

Dokter seorang andal paru dan staf pengajar Departemen Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indoensia (FKUI), dr Rara Diah Handayani, SpP(K) menyebut, pergantian usulan obat masuk akal terjadi karena menyesuaikan hasil penilaian dan bukti klinis seiring penggunaan obat.

Namun karena informasi terkait penggunaan obat oleh pasien COVID-19 ini masih terus berkembang, ia menyarankan mudah-mudahan obat antivirus menyerupai oseltamivir cuma disantap jika pasien COVID-19 mengantongi tawaran dokter.

"Intinya akan lebih baik jika kita betul-betul berkonsultasi terhadap andal sebelum mendapat terapi," terangnya dalam diskusi daring, Jumat (16/7/2021).

"Memang acap kali di banyak sekali negara itu kombinasi mana yang diambil. Beberapa negara di Eropa tidak menggunakan fapiviravir, tidak menggunakan oseltamivir, juga tidak menggunakan remdesivir. Tapi ia menggunakan beberapa antivirus yang lain. Kaprikornus memang diubahsuaikan dengan keputusan masing-masing negara. Biasanya dilaksanakan dahulu evaluasi," pungkasnya.



Simak Video "Penjelasan Dokter Soal Penggunaan Obat Oseltamivir Bagi Pasien Corona di Indonesia"
[Gambas:Video 20detik]

Oseltamivir-Azithromycin Tak Lagi Disarankan, Paket Isoman Covid-19 Berubah?

Tingginya permasalahan Corona (COVID-19) di Indonesia menghasilkan seruan obat-obatan dan vitamin meningkat. Warga rela antre ke apotek demi berbelanja kebutuhan. 
  Foto: Andhika Prasetia

Jakarta - Rekomendasi modern para dokter tidak lagi memasukkan Oseltamivir dan Azithromycin sebagai obat terapi utama COVID-19. Padahal, obat-obat tersebut ada dalam paket isolasi dapat bangkit diatas kaki sendiri (isoman) COVID-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Gimana tuh?

Perubahan saran obat untuk isoman tercantum dalam Revisi Protokol Tatalaksana COVID-19. Rekomendasi disusun oleh 5 perhimpunan profesi dokter spesialis, yakni:

  • Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
  • Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI)
  • Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
  • Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN)
  • Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)

Dalam saran tersebut, Oseltamivir cuma diberikan pada pasien isoman yang dicurigai memiliki koinfeksi influenza. Sedangkan Azithromycin cuma diberikan bila ada kecurigaan koinfeksi mikroorganisme atipikal.

Sementara itu, dikutip dari laman resmi Kemenkes, Oseltamivir dan Azithromycin tergolong dalam paket B untuk pasien isoman COVID-19 bergejala ringan. Lengkapnya, paket tersebut berisi obat-obat selaku berikut:

  • Multivitamin
  • Azithromycin 500mg
  • Oseltamivir 75mg
  • Parasetamol tab 500mg

Dokter seorang andal paru dan staf pengajar Departemen Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indoensia (FKUI), dr Rara Diah Handayani, SpP(K) menyebut, pergantian saran obat masuk akal terjadi karena menyesuaikan hasil penilaian dan bukti klinis seiring penggunaan obat.

Namun karena pemberitahuan terkait penggunaan obat oleh pasien COVID-19 ini masih terus berkembang, ia menyarankan biar obat antivirus menyerupai oseltamivir cuma dimakan bila pasien COVID-19 mengantongi pertimbangan dokter.

"Intinya akan lebih baik bila kita betul-betul berkonsultasi terhadap andal sebelum mendapat terapi," terangnya dalam diskusi daring, Jumat (16/7/2021).

"Memang seringkali di banyak sekali negara itu kombinasi mana yang diambil. Beberapa negara di Eropa tidak menggunakan fapiviravir, tidak menggunakan oseltamivir, juga tidak menggunakan remdesivir. Tapi beliau menggunakan beberapa antivirus yang lain. Makara memang diubahsuaikan dengan keputusan masing-masing negara. Biasanya dijalankan dahulu evaluasi," pungkasnya.



Simak Video "Penjelasan Dokter Soal Penggunaan Obat Oseltamivir Bagi Pasien Corona di Indonesia"
[Gambas:Video 20detik]

Oseltamivir-Azithromycin Tak Lagi Disarankan, Paket Isoman Covid-19 Berubah?

Tingginya problem Corona (COVID-19) di Indonesia menghasilkan ajakan obat-obatan dan vitamin meningkat. Warga rela antre ke apotek demi berbelanja kebutuhan. 
  Foto: Andhika Prasetia

Jakarta - Rekomendasi modern para dokter tidak lagi memasukkan Oseltamivir dan Azithromycin sebagai obat terapi utama COVID-19. Padahal, obat-obat tersebut ada dalam paket isolasi berdikari (isoman) COVID-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Gimana tuh?

Perubahan usulan obat untuk isoman tercantum dalam Revisi Protokol Tatalaksana COVID-19. Rekomendasi disusun oleh 5 perhimpunan profesi dokter spesialis, yakni:

  • Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
  • Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI)
  • Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
  • Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN)
  • Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)

Dalam usulan tersebut, Oseltamivir cuma diberikan pada pasien isoman yang dicurigai memiliki koinfeksi influenza. Sedangkan Azithromycin cuma diberikan jikalau ada kecurigaan koinfeksi mikroorganisme atipikal.

Sementara itu, dikutip dari laman resmi Kemenkes, Oseltamivir dan Azithromycin tergolong dalam paket B untuk pasien isoman COVID-19 bergejala ringan. Lengkapnya, paket tersebut berisi obat-obat selaku berikut:

  • Multivitamin
  • Azithromycin 500mg
  • Oseltamivir 75mg
  • Parasetamol tab 500mg

Dokter seorang andal paru dan staf pengajar Departemen Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indoensia (FKUI), dr Rara Diah Handayani, SpP(K) menyebut, pergantian usulan obat masuk akal terjadi karena menyesuaikan hasil penilaian dan bukti klinis seiring penggunaan obat.

Namun karena pemberitahuan terkait penggunaan obat oleh pasien COVID-19 ini masih terus berkembang, ia menyarankan agar obat antivirus seumpama oseltamivir cuma dimakan jikalau pasien COVID-19 mengantongi tawaran dokter.

"Intinya akan lebih baik jikalau kita sungguh-sungguh berkonsultasi terhadap andal sebelum mendapat terapi," terangnya dalam diskusi daring, Jumat (16/7/2021).

"Memang adakala di banyak sekali negara itu kombinasi mana yang diambil. Beberapa negara di Eropa tidak menggunakan fapiviravir, tidak menggunakan oseltamivir, juga tidak menggunakan remdesivir. Tapi ia menggunakan beberapa antivirus yang lain. Kaprikornus memang diadaptasi dengan keputusan masing-masing negara. Biasanya ditangani dahulu evaluasi," pungkasnya.



Simak Video "Penjelasan Dokter Soal Penggunaan Obat Oseltamivir Bagi Pasien Corona di Indonesia"
[Gambas:Video 20detik]

Oseltamivir-Azithromycin Tak Lagi Disarankan, Paket Isoman Covid-19 Berubah?

Tingginya problem Corona (COVID-19) di Indonesia menghasilkan usul obat-obatan dan vitamin meningkat. Warga rela antre ke apotek demi berbelanja kebutuhan. 
  Foto: Andhika Prasetia

Jakarta - Rekomendasi modern para dokter tidak lagi memasukkan Oseltamivir dan Azithromycin sebagai obat terapi utama COVID-19. Padahal, obat-obat tersebut ada dalam paket isolasi berdikari (isoman) COVID-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Gimana tuh?

Perubahan usulan obat untuk isoman tercantum dalam Revisi Protokol Tatalaksana COVID-19. Rekomendasi disusun oleh 5 perhimpunan profesi dokter spesialis, yakni:

  • Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
  • Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI)
  • Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
  • Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN)
  • Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)

Dalam usulan tersebut, Oseltamivir cuma diberikan pada pasien isoman yang dicurigai memiliki koinfeksi influenza. Sedangkan Azithromycin cuma diberikan kalau ada kecurigaan koinfeksi mikroorganisme atipikal.

Sementara itu, dikutip dari laman resmi Kemenkes, Oseltamivir dan Azithromycin tergolong dalam paket B untuk pasien isoman COVID-19 bergejala ringan. Lengkapnya, paket tersebut berisi obat-obat selaku berikut:

  • Multivitamin
  • Azithromycin 500mg
  • Oseltamivir 75mg
  • Parasetamol tab 500mg

Dokter seorang andal paru dan staf pengajar Departemen Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indoensia (FKUI), dr Rara Diah Handayani, SpP(K) menyebut, pergantian usulan obat masuk akal terjadi karena menyesuaikan hasil penilaian dan bukti klinis seiring penggunaan obat.

Namun karena informasi terkait penggunaan obat oleh pasien COVID-19 ini masih terus berkembang, ia menyarankan biar obat antivirus menyerupai oseltamivir cuma dimakan kalau pasien COVID-19 mengantongi proposal dokter.

"Intinya akan lebih baik kalau kita sungguh-sungguh berkonsultasi terhadap andal sebelum mendapat terapi," terangnya dalam diskusi daring, Jumat (16/7/2021).

"Memang kerap kali di banyak sekali negara itu kombinasi mana yang diambil. Beberapa negara di Eropa tidak menggunakan fapiviravir, tidak menggunakan oseltamivir, juga tidak menggunakan remdesivir. Tapi beliau menggunakan beberapa antivirus yang lain. Makara memang diadaptasi dengan keputusan masing-masing negara. Biasanya dijalankan dahulu evaluasi," pungkasnya.



Simak Video "Penjelasan Dokter Soal Penggunaan Obat Oseltamivir Bagi Pasien Corona di Indonesia"
[Gambas:Video 20detik]

Oseltamivir-Azithromycin Tak Lagi Disarankan, Paket Isoman Covid-19 Berubah?

Tingginya permasalahan Corona (COVID-19) di Indonesia menghasilkan undangan obat-obatan dan vitamin meningkat. Warga rela antre ke apotek demi berbelanja kebutuhan. 
  Foto: Andhika Prasetia

Jakarta - Rekomendasi modern para dokter tidak lagi memasukkan Oseltamivir dan Azithromycin sebagai obat terapi utama COVID-19. Padahal, obat-obat tersebut ada dalam paket isolasi berdikari (isoman) COVID-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Gimana tuh?

Perubahan usulan obat untuk isoman tercantum dalam Revisi Protokol Tatalaksana COVID-19. Rekomendasi disusun oleh 5 perhimpunan profesi dokter spesialis, yakni:

  • Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
  • Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI)
  • Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
  • Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN)
  • Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)

Dalam usulan tersebut, Oseltamivir cuma diberikan pada pasien isoman yang dicurigai memiliki koinfeksi influenza. Sedangkan Azithromycin cuma diberikan jika ada kecurigaan koinfeksi mikroorganisme atipikal.

Sementara itu, dikutip dari laman resmi Kemenkes, Oseltamivir dan Azithromycin tergolong dalam paket B untuk pasien isoman COVID-19 bergejala ringan. Lengkapnya, paket tersebut berisi obat-obat selaku berikut:

  • Multivitamin
  • Azithromycin 500mg
  • Oseltamivir 75mg
  • Parasetamol tab 500mg

Dokter seorang andal paru dan staf pengajar Departemen Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indoensia (FKUI), dr Rara Diah Handayani, SpP(K) menyebut, pergantian usulan obat masuk akal terjadi karena menyesuaikan hasil penilaian dan bukti klinis seiring penggunaan obat.

Namun karena informasi terkait penggunaan obat oleh pasien COVID-19 ini masih terus berkembang, ia menyarankan biar obat antivirus menyerupai oseltamivir cuma dimakan jika pasien COVID-19 mengantongi pendapat dokter.

"Intinya akan lebih baik jika kita betul-betul berkonsultasi terhadap andal sebelum mendapat terapi," terangnya dalam diskusi daring, Jumat (16/7/2021).

"Memang adakala di banyak sekali negara itu kombinasi mana yang diambil. Beberapa negara di Eropa tidak menggunakan fapiviravir, tidak menggunakan oseltamivir, juga tidak menggunakan remdesivir. Tapi ia menggunakan beberapa antivirus yang lain. Kaprikornus memang diadaptasi dengan keputusan masing-masing negara. Biasanya dijalankan dahulu evaluasi," pungkasnya.



Simak Video "Penjelasan Dokter Soal Penggunaan Obat Oseltamivir Bagi Pasien Corona di Indonesia"
[Gambas:Video 20detik]

Idi: Faskes Ri Hadapi 'Functional Collapse', Nakes Digempur Terus

Sejumlah tenaga kesehatan berlangsung menuju ruang perawatan pasien COVID-19 di Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC), Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Rabu (5/5/2021). Komandan Lapangan RSDC Wisma Atlet, Letkol Laut (K) Muhammad Arifin menyampaikan tidak akan menghemat jumlah tenaga kesehatan selama masa Idulfitri 2021, hal tersebut untuk mengantisipasi peningkatan kendala COVID-19 dari penduduk  yang tetap menjalankan pulang kampung meski adanya larangan pemerintah sama menyerupai periode tahun lalu. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj. Foto: ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT

Jakarta -

Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi mengungkap kondisi COVID-19 di Indonesia tengah 'functional collapse'. Artinya, secara fungsi kepraktisan kesehatan telah di fase kolaps.

Misalnya, jumlah tenaga kesehatan yang mulai terbatas hingga pasokan obat dan stok alat kesehatan yang lain yang juga perlu terus ditambah alasannya merupakan seruan yang membludak. Sementara, menurut dia, kepraktisan kesehatan menyerupai wilayah tidur masih sanggup ditambah umpamanya pemasangan tenda-tenda untuk merawat pasien COVID-19.

"Kondisi ketika ini memang keadaan yang sungguh-sungguh cukup mengkhawatirkan, aku senantiasa sampaikan, bahwa kita dalam keadaan yang dihadapkan dengan functional collapse, bukan structural collapse," sebut Adib dalam pertemuan pers dalam kanal YouTube, PERSI Jumat (16/7/2021).

"Karena IGD-nya masih ada, sanggup dibentuk tenda, sanggup ditambah wilayah tidur, namun secara functional collapse, functional dalam konteks SDM, functional dalam konteks alat kesehatan, functional dalam kaitan oksigen obat dan sebagainya," sambungnya.

Maka dari itu, ia mendesak pemerintah perlu menimbang-nimbang regulasi terkait keadaan COVID-19 yang mengkhawatirkan, demi menekan jumlah pasien COVID-19 tak terus meningkat. Hal ini dikarenakan para tenaga kesehatan pun menyerupai telah tak ada relaksasi.

"Jadi yang kita intervensi merupakan lewat sebuah kebijakan agar segi functional tidak kolaps mulai dari sumber pemberdayaan kemudian menampilkan saluran terhadap penduduk agar flownya (kasus) tidak terlampau banyak," beber dia.

"Karena perlu ada upaya juga bagaimana teman-teman nakes di faskes ini ada fase yang mereka sanggup relaksasi, jikalau kini mereka digempur terus. Dengan keadaan yang ketika ini mesti ada upaya-upaya dari segi regulasi harus, ada percepatan regulasi," tutur Adib.

Adib meminta regulasi yang dibentuk mesti cepat dan menyesuaikan dengan keadaan kemajuan kasus COVID-19 di Indonesia ketika ini.



Simak Video "Relawan Pemakaman Malaysia Ketar-ketir Lihat Lonjakan COVID-19"
[Gambas:Video 20detik]

Idi: Faskes Ri Hadapi 'Functional Collapse', Nakes Digempur Terus

Sejumlah tenaga kesehatan berlangsung menuju ruang perawatan pasien COVID-19 di Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC), Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Rabu (5/5/2021). Komandan Lapangan RSDC Wisma Atlet, Letkol Laut (K) Muhammad Arifin menyampaikan tidak akan meminimalisir jumlah tenaga kesehatan selama masa Idulfitri 2021, hal tersebut untuk mengantisipasi peningkatan kendala COVID-19 dari penduduk  yang tetap menjalankan balik kampung meski adanya larangan pemerintah sama menyerupai periode tahun lalu. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj. Foto: ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT

Jakarta -

Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi mengungkap kondisi COVID-19 di Indonesia tengah 'functional collapse'. Artinya, secara fungsi akomodasi kesehatan telah di fase kolaps.

Misalnya, jumlah tenaga kesehatan yang mulai terbatas hingga pasokan obat dan stok alat kesehatan yang lain yang juga perlu terus ditambah alasannya merupakan undangan yang membludak. Sementara, menurut dia, akomodasi kesehatan menyerupai daerah tidur masih sanggup ditambah contohnya pemasangan tenda-tenda untuk merawat pasien COVID-19.

"Kondisi di sekarang ini memang keadaan yang betul-betul cukup mengkhawatirkan, aku senantiasa sampaikan, bahwa kita dalam keadaan yang dihadapkan dengan functional collapse, bukan structural collapse," sebut Adib dalam pertemuan pers dalam kanal YouTube, PERSI Jumat (16/7/2021).

"Karena IGD-nya masih ada, sanggup dibentuk tenda, sanggup ditambah daerah tidur, namun secara functional collapse, functional dalam konteks SDM, functional dalam konteks alat kesehatan, functional dalam kaitan oksigen obat dan sebagainya," sambungnya.

Maka dari itu, ia mendesak pemerintah perlu mempertimbangkan regulasi terkait keadaan COVID-19 yang mengkhawatirkan, demi menekan jumlah pasien COVID-19 tak terus meningkat. Hal ini dikarenakan para tenaga kesehatan pun menyerupai telah tak ada relaksasi.

"Jadi yang kita intervensi merupakan lewat sebuah kebijakan agar segi functional tidak kolaps mulai dari sumber pemberdayaan kemudian memamerkan jalan masuk terhadap penduduk agar flownya (kasus) tidak terlampau banyak," beber dia.

"Karena perlu ada upaya juga bagaimana teman-teman nakes di faskes ini ada fase yang mereka sanggup relaksasi, apabila kini mereka digempur terus. Dengan keadaan yang di sekarang ini mesti ada upaya-upaya dari segi regulasi harus, ada percepatan regulasi," tutur Adib.

Adib meminta regulasi yang dibentuk mesti cepat dan menyesuaikan dengan keadaan pertumbuhan kasus COVID-19 di Indonesia di saat ini.



Simak Video "Relawan Pemakaman Malaysia Ketar-ketir Lihat Lonjakan COVID-19"
[Gambas:Video 20detik]

Idi: Faskes Ri Hadapi 'Functional Collapse', Nakes Digempur Terus

Sejumlah tenaga kesehatan berlangsung menuju ruang perawatan pasien COVID-19 di Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC), Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Rabu (5/5/2021). Komandan Lapangan RSDC Wisma Atlet, Letkol Laut (K) Muhammad Arifin menyampaikan tidak akan meminimalisir jumlah tenaga kesehatan selama masa Idulfitri 2021, hal tersebut untuk mengantisipasi peningkatan urusan COVID-19 dari penduduk  yang tetap mengerjakan balik kampung meski adanya larangan pemerintah sama seumpama periode tahun lalu. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj. Foto: ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT

Jakarta -

Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi mengungkap kondisi COVID-19 di Indonesia tengah 'functional collapse'. Artinya, secara fungsi kepraktisan kesehatan telah di fase kolaps.

Misalnya, jumlah tenaga kesehatan yang mulai terbatas hingga pasokan obat dan stok alat kesehatan yang lain yang juga perlu terus ditambah alasannya yakni usul yang membludak. Sementara, menurut dia, kepraktisan kesehatan seumpama kawasan tidur masih sanggup ditambah contohnya pemasangan tenda-tenda untuk merawat pasien COVID-19.

"Kondisi di saat ini memang keadaan yang sungguh-sungguh cukup mengkhawatirkan, aku senantiasa sampaikan, bahwa kita dalam keadaan yang dihadapkan dengan functional collapse, bukan structural collapse," sebut Adib dalam pertemuan pers dalam kanal YouTube, PERSI Jumat (16/7/2021).

"Karena IGD-nya masih ada, sanggup dibentuk tenda, sanggup ditambah kawasan tidur, namun secara functional collapse, functional dalam konteks SDM, functional dalam konteks alat kesehatan, functional dalam kaitan oksigen obat dan sebagainya," sambungnya.

Maka dari itu, ia mendesak pemerintah perlu menimbang-nimbang regulasi terkait keadaan COVID-19 yang mengkhawatirkan, demi menekan jumlah pasien COVID-19 tak terus meningkat. Hal ini dikarenakan para tenaga kesehatan pun seumpama telah tak ada relaksasi.

"Jadi yang kita intervensi yakni lewat sebuah kebijakan mudah-mudahan segi functional tidak kolaps mulai dari sumber pemberdayaan kemudian menampilkan susukan terhadap penduduk agar flownya (kasus) tidak terlampau banyak," beber dia.

"Karena perlu ada upaya juga bagaimana teman-teman nakes di faskes ini ada fase yang mereka sanggup relaksasi, jikalau kini mereka digempur terus. Dengan keadaan yang di saat ini mesti ada upaya-upaya dari segi regulasi harus, ada percepatan regulasi," tutur Adib.

Adib meminta regulasi yang dibentuk mesti cepat dan menyesuaikan dengan keadaan kemajuan kasus COVID-19 di Indonesia di saat ini.



Simak Video "Relawan Pemakaman Malaysia Ketar-ketir Lihat Lonjakan COVID-19"
[Gambas:Video 20detik]

Idi: Faskes Ri Hadapi 'Functional Collapse', Nakes Digempur Terus

Sejumlah tenaga kesehatan berlangsung menuju ruang perawatan pasien COVID-19 di Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC), Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Rabu (5/5/2021). Komandan Lapangan RSDC Wisma Atlet, Letkol Laut (K) Muhammad Arifin menyampaikan tidak akan meminimalisir jumlah tenaga kesehatan selama masa Idulfitri 2021, hal tersebut untuk mengantisipasi peningkatan kendala COVID-19 dari penduduk  yang tetap melakukan pulang kampung meski adanya larangan pemerintah sama menyerupai periode tahun lalu. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj. Foto: ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT

Jakarta -

Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi mengungkap kondisi COVID-19 di Indonesia tengah 'functional collapse'. Artinya, secara fungsi akomodasi kesehatan telah di fase kolaps.

Misalnya, jumlah tenaga kesehatan yang mulai terbatas hingga pasokan obat dan stok alat kesehatan yang lain yang juga perlu terus ditambah alasannya yakni ajakan yang membludak. Sementara, menurut dia, akomodasi kesehatan menyerupai kawasan tidur masih sanggup ditambah umpamanya pemasangan tenda-tenda untuk merawat pasien COVID-19.

"Kondisi di sekarang ini memang keadaan yang sungguh-sungguh cukup mengkhawatirkan, aku senantiasa sampaikan, bahwa kita dalam keadaan yang dihadapkan dengan functional collapse, bukan structural collapse," sebut Adib dalam pertemuan pers dalam kanal YouTube, PERSI Jumat (16/7/2021).

"Karena IGD-nya masih ada, sanggup dibentuk tenda, sanggup ditambah kawasan tidur, namun secara functional collapse, functional dalam konteks SDM, functional dalam konteks alat kesehatan, functional dalam kaitan oksigen obat dan sebagainya," sambungnya.

Maka dari itu, ia mendesak pemerintah perlu menimbang-nimbang regulasi terkait keadaan COVID-19 yang mengkhawatirkan, demi menekan jumlah pasien COVID-19 tak terus meningkat. Hal ini dikarenakan para tenaga kesehatan pun menyerupai telah tak ada relaksasi.

"Jadi yang kita intervensi yakni lewat sebuah kebijakan mudah-mudahan segi functional tidak kolaps mulai dari sumber pemberdayaan kemudian memamerkan saluran terhadap penduduk agar flownya (kasus) tidak terlampau banyak," beber dia.

"Karena perlu ada upaya juga bagaimana teman-teman nakes di faskes ini ada fase yang mereka sanggup relaksasi, bila kini mereka digempur terus. Dengan keadaan yang di sekarang ini mesti ada upaya-upaya dari segi regulasi harus, ada percepatan regulasi," tutur Adib.

Adib meminta regulasi yang dibentuk mesti cepat dan menyesuaikan dengan keadaan pertumbuhan kasus COVID-19 di Indonesia di saat ini.



Simak Video "Relawan Pemakaman Malaysia Ketar-ketir Lihat Lonjakan COVID-19"
[Gambas:Video 20detik]

Idi: Faskes Ri Hadapi 'Functional Collapse', Nakes Digempur Terus

Sejumlah tenaga kesehatan berlangsung menuju ruang perawatan pasien COVID-19 di Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC), Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Rabu (5/5/2021). Komandan Lapangan RSDC Wisma Atlet, Letkol Laut (K) Muhammad Arifin menyampaikan tidak akan meminimalisir jumlah tenaga kesehatan selama masa Idulfitri 2021, hal tersebut untuk mengantisipasi peningkatan problem COVID-19 dari penduduk  yang tetap melakukan pulang kampung meski adanya larangan pemerintah sama seumpama periode tahun lalu. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj. Foto: ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT

Jakarta -

Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi mengungkap kondisi COVID-19 di Indonesia tengah 'functional collapse'. Artinya, secara fungsi kepraktisan kesehatan telah di fase kolaps.

Misalnya, jumlah tenaga kesehatan yang mulai terbatas hingga pasokan obat dan stok alat kesehatan yang lain yang juga perlu terus ditambah alasannya merupakan seruan yang membludak. Sementara, menurut dia, kepraktisan kesehatan seumpama wilayah tidur masih sanggup ditambah umpamanya pemasangan tenda-tenda untuk merawat pasien COVID-19.

"Kondisi di sekarang ini memang keadaan yang betul-betul cukup mengkhawatirkan, aku senantiasa sampaikan, bahwa kita dalam keadaan yang dihadapkan dengan functional collapse, bukan structural collapse," sebut Adib dalam pertemuan pers dalam kanal YouTube, PERSI Jumat (16/7/2021).

"Karena IGD-nya masih ada, sanggup dibentuk tenda, sanggup ditambah wilayah tidur, namun secara functional collapse, functional dalam konteks SDM, functional dalam konteks alat kesehatan, functional dalam kaitan oksigen obat dan sebagainya," sambungnya.

Maka dari itu, ia mendesak pemerintah perlu menimbang-nimbang regulasi terkait keadaan COVID-19 yang mengkhawatirkan, demi menekan jumlah pasien COVID-19 tak terus meningkat. Hal ini dikarenakan para tenaga kesehatan pun seumpama telah tak ada relaksasi.

"Jadi yang kita intervensi merupakan lewat sebuah kebijakan biar segi functional tidak kolaps mulai dari sumber pemberdayaan kemudian menampilkan susukan terhadap penduduk agar flownya (kasus) tidak terlampau banyak," beber dia.

"Karena perlu ada upaya juga bagaimana teman-teman nakes di faskes ini ada fase yang mereka sanggup relaksasi, jikalau kini mereka digempur terus. Dengan keadaan yang di sekarang ini mesti ada upaya-upaya dari segi regulasi harus, ada percepatan regulasi," tutur Adib.

Adib meminta regulasi yang dibentuk mesti cepat dan menyesuaikan dengan keadaan pertumbuhan kasus COVID-19 di Indonesia di saat ini.



Simak Video "Relawan Pemakaman Malaysia Ketar-ketir Lihat Lonjakan COVID-19"
[Gambas:Video 20detik]

Studi Ivermectin Untuk Terapi Covid-19 Ditarik Dari Jurnal Ilmiah, Ada Apa?

Ivermectin is not a merk name: it is the generic term for the drug. Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/RapidEye

Jakarta -

Ivermectin, obat antiparasit ini lagi-lagi ramai diperbincangkan penduduk luas. Studi yang menyebut ivermectin efektif dalam menolong pengobatan pasien COVID-19 ditarik dari jurnal ilmiah alasannya dilema etika.

Dikutip dari The Guardian, studi mengenai efektivitas Ivermectin terhadap COVID-19 dengan judul 'Efficacy and Safety of Ivermectin for Treatment and prophylaxis of COVID-19 Pandemic' ditarik dari jurnal Research Square pada Kamis (15/7/2021) kemarin.

Diketahui, studi yang dipimpin oleh Dr Ahmed Elgazzar dari Benha University, Mesir, ini dipublikasi pada November 2020. Studi ini kerap menjadi landasan penggunaan Ivermectin untuk pengobatan pasien COVID-19 di banyak sekali negara.

"Research Square sudah memukau pracetak ini," tulis Research Square dalam laman resminya.

Studi tersebut menerangkan pasien COVID-19, yang dirawat di rumah sakit, sanggup pulih dengan segera saat memperoleh terapi Ivermectin. Penggunaan obat ini juga disebut sanggup menurunkan tingkat maut pasien sampai 90 persen.

Namun, studi ini masih banyak dipertanyakan oleh para ahli. Tak sedikit di antara mereka yang mendapatkan kejanggalan dalam studi tersebut.

Salah satunya mahasiswa pascasarjana kedokteran di London, Jack Lawrence, yang mendapati bab pendahuluan dari makalah tersebut nyaris segalanya plagiat. Menurutnya, seluruh paragraf ditulis dari siaran pers dan situs web.

Lawrence juga meragukan data mentah dalam studi Ivermectin ini berlainan dengan protokol observasi ilmiah.

"Para penulis mengklaim observasi cuma ditangani pada usia 18-80 tahun. Namun, setidaknya ada tiga pasien dalam kumpulan data berusia di bawah 18 tahun," kata Lawrence.

"Penulis juga mengklaim mereka menjalankan observasi antara 8 Juni-20 September 2020, tetapi sebagian besar pasien yang meninggal dirawat di rumah sakit itu sebelum 8 Juni menurut data mentah," jelasnya.

Selain Lawrence, epidemiolog dari University of Wollongong, Australia, Gideon Meyerowitz-Katza, dan seorang analis data yang relevan dengan Linnaeus University, Swedia, Nick Brown, juga mengungkap banyak kesalahan data terhadap observasi Ivermectin ini.

Di Indonesia sendiri penggunaan Ivermectin untuk pengobatan pasien COVID-19 masih dalam tahap uji klinis. Pengujian ini ditangani di 8 rumah sakit, yang ditangani oleh Kementerian Kesehatan RI.

Maka dari itu, Ivermectin belum sanggup disebut selaku 'obat COVID-19'. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah memperingatkan bahwa Ivermectin tergolong dalam kalangan obat keras, sehingga tidak diusulkan untuk dimakan secara sembarang pilih alasannya sanggup berakibat fatal.

"Apabila Ivermectin akan digunakan untuk pencegahan dan pengobatan COVID-19, mesti atas kontrak dan di bawah pengawasan dokter. Jika penduduk memperoleh obat ini bukan atas isyarat dokter, diimbau untuk berkonsultasi apalagi dulu terhadap dokter sebelum menggunakannya," tulis BPOM, Selasa (22/6/2021).



Simak Video "WHO Ingatkan Ivermectin selaku Obat COVID-19 Hanya untuk Uji Klinis!"
[Gambas:Video 20detik]

Studi Ivermectin Untuk Terapi Covid-19 Ditarik Dari Jurnal Ilmiah, Ada Apa?

Ivermectin is not a merk name: it is the generic term for the drug. Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/RapidEye

Jakarta -

Ivermectin, obat antiparasit ini lagi-lagi ramai diperbincangkan penduduk luas. Studi yang menyebut ivermectin efektif dalam menolong pengobatan pasien COVID-19 ditarik dari jurnal ilmiah alasannya merupakan perkara etika.

Dikutip dari The Guardian, studi wacana efektivitas Ivermectin terhadap COVID-19 dengan judul 'Efficacy and Safety of Ivermectin for Treatment and prophylaxis of COVID-19 Pandemic' ditarik dari jurnal Research Square pada Kamis (15/7/2021) kemarin.

Diketahui, studi yang dipimpin oleh Dr Ahmed Elgazzar dari Benha University, Mesir, ini dipublikasi pada November 2020. Studi ini kerap menjadi landasan penggunaan Ivermectin untuk pengobatan pasien COVID-19 di banyak sekali negara.

"Research Square sudah menawan pracetak ini," tulis Research Square dalam laman resminya.

Studi tersebut menerangkan pasien COVID-19, yang dirawat di rumah sakit, sanggup pulih dengan segera dikala memperoleh terapi Ivermectin. Penggunaan obat ini juga disebut sanggup menurunkan tingkat ajal pasien sampai 90 persen.

Namun, studi ini masih banyak dipertanyakan oleh para ahli. Tak sedikit di antara mereka yang mendapatkan kejanggalan dalam studi tersebut.

Salah satunya mahasiswa pascasarjana kedokteran di London, Jack Lawrence, yang mendapati bab pendahuluan dari makalah tersebut nyaris segalanya plagiat. Menurutnya, seluruh paragraf ditulis dari siaran pers dan situs web.

Lawrence juga meragukan data mentah dalam studi Ivermectin ini berlainan dengan protokol observasi ilmiah.

"Para penulis mengklaim observasi cuma dijalankan pada usia 18-80 tahun. Namun, setidaknya ada tiga pasien dalam kumpulan data berusia di bawah 18 tahun," kata Lawrence.

"Penulis juga mengklaim mereka melakukan observasi antara 8 Juni-20 September 2020, tetapi sebagian besar pasien yang meninggal dirawat di rumah sakit itu sebelum 8 Juni menurut data mentah," jelasnya.

Selain Lawrence, epidemiolog dari University of Wollongong, Australia, Gideon Meyerowitz-Katza, dan seorang analis data yang berhubungan dengan Linnaeus University, Swedia, Nick Brown, juga mengungkap banyak kesalahan data terhadap observasi Ivermectin ini.

Di Indonesia sendiri penggunaan Ivermectin untuk pengobatan pasien COVID-19 masih dalam tahap uji klinis. Pengujian ini dijalankan di 8 rumah sakit, yang dijalankan oleh Kementerian Kesehatan RI.

Maka dari itu, Ivermectin belum sanggup disebut selaku 'obat COVID-19'. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah memperingatkan bahwa Ivermectin tergolong dalam golongan obat keras, sehingga tidak direkomendasikan untuk dimakan secara sembarang pilih alasannya merupakan sanggup berakibat fatal.

"Apabila Ivermectin akan digunakan untuk pencegahan dan pengobatan COVID-19, mesti atas persetujuan dan di bawah pengawasan dokter. Jika penduduk memperoleh obat ini bukan atas isyarat dokter, diimbau untuk berkonsultasi apalagi dulu terhadap dokter sebelum menggunakannya," tulis BPOM, Selasa (22/6/2021).



Simak Video "WHO Ingatkan Ivermectin selaku Obat COVID-19 Hanya untuk Uji Klinis!"
[Gambas:Video 20detik]

Studi Ivermectin Untuk Terapi Covid-19 Ditarik Dari Jurnal Ilmiah, Ada Apa?

Ivermectin is not a merk name: it is the generic term for the drug. Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/RapidEye

Jakarta -

Ivermectin, obat antiparasit ini lagi-lagi ramai diperbincangkan penduduk luas. Studi yang menyebut ivermectin efektif dalam menolong pengobatan pasien COVID-19 ditarik dari jurnal ilmiah alasannya yakni perkara etika.

Dikutip dari The Guardian, studi ihwal efektivitas Ivermectin terhadap COVID-19 dengan judul 'Efficacy and Safety of Ivermectin for Treatment and prophylaxis of COVID-19 Pandemic' ditarik dari jurnal Research Square pada Kamis (15/7/2021) kemarin.

Diketahui, studi yang dipimpin oleh Dr Ahmed Elgazzar dari Benha University, Mesir, ini dipublikasi pada November 2020. Studi ini kerap menjadi landasan penggunaan Ivermectin untuk pengobatan pasien COVID-19 di banyak sekali negara.

"Research Square sudah menawan pracetak ini," tulis Research Square dalam laman resminya.

Studi tersebut menerangkan pasien COVID-19, yang dirawat di rumah sakit, sanggup pulih dengan segera saat memperoleh terapi Ivermectin. Penggunaan obat ini juga disebut sanggup menurunkan tingkat ajal pasien sampai 90 persen.

Namun, studi ini masih banyak dipertanyakan oleh para ahli. Tak sedikit di antara mereka yang mendapatkan kejanggalan dalam studi tersebut.

Salah satunya mahasiswa pascasarjana kedokteran di London, Jack Lawrence, yang mendapati bab pendahuluan dari makalah tersebut nyaris segalanya plagiat. Menurutnya, seluruh paragraf ditulis dari siaran pers dan situs web.

Lawrence juga meragukan data mentah dalam studi Ivermectin ini berlainan dengan protokol observasi ilmiah.

"Para penulis mengklaim observasi cuma ditangani pada usia 18-80 tahun. Namun, setidaknya ada tiga pasien dalam kumpulan data berusia di bawah 18 tahun," kata Lawrence.

"Penulis juga mengklaim mereka melakukan observasi antara 8 Juni-20 September 2020, tetapi sebagian besar pasien yang meninggal dirawat di rumah sakit itu sebelum 8 Juni menurut data mentah," jelasnya.

Selain Lawrence, epidemiolog dari University of Wollongong, Australia, Gideon Meyerowitz-Katza, dan seorang analis data yang relevan dengan Linnaeus University, Swedia, Nick Brown, juga mengungkap banyak kesalahan data terhadap observasi Ivermectin ini.

Di Indonesia sendiri penggunaan Ivermectin untuk pengobatan pasien COVID-19 masih dalam tahap uji klinis. Pengujian ini ditangani di 8 rumah sakit, yang ditangani oleh Kementerian Kesehatan RI.

Maka dari itu, Ivermectin belum sanggup disebut selaku 'obat COVID-19'. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah memperingatkan bahwa Ivermectin tergolong dalam kalangan obat keras, sehingga tidak disarankan untuk disantap secara sembarang pilih alasannya yakni sanggup berakibat fatal.

"Apabila Ivermectin akan digunakan untuk pencegahan dan pengobatan COVID-19, mesti atas persetujuan dan di bawah pengawasan dokter. Jika penduduk memperoleh obat ini bukan atas isyarat dokter, diimbau untuk berkonsultasi apalagi dulu terhadap dokter sebelum menggunakannya," tulis BPOM, Selasa (22/6/2021).



Simak Video "WHO Ingatkan Ivermectin selaku Obat COVID-19 Hanya untuk Uji Klinis!"
[Gambas:Video 20detik]

Studi Ivermectin Untuk Terapi Covid-19 Ditarik Dari Jurnal Ilmiah, Ada Apa?

Ivermectin is not a merk name: it is the generic term for the drug. Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/RapidEye

Jakarta -

Ivermectin, obat antiparasit ini lagi-lagi ramai diperbincangkan penduduk luas. Studi yang menyebut ivermectin efektif dalam menolong pengobatan pasien COVID-19 ditarik dari jurnal ilmiah sebab duduk kendala etika.

Dikutip dari The Guardian, studi ihwal efektivitas Ivermectin terhadap COVID-19 dengan judul 'Efficacy and Safety of Ivermectin for Treatment and prophylaxis of COVID-19 Pandemic' ditarik dari jurnal Research Square pada Kamis (15/7/2021) kemarin.

Diketahui, studi yang dipimpin oleh Dr Ahmed Elgazzar dari Benha University, Mesir, ini dipublikasi pada November 2020. Studi ini kerap menjadi landasan penggunaan Ivermectin untuk pengobatan pasien COVID-19 di aneka macam negara.

"Research Square sudah menawan pracetak ini," tulis Research Square dalam laman resminya.

Studi tersebut menerangkan pasien COVID-19, yang dirawat di rumah sakit, sanggup pulih dengan segera dikala memperoleh terapi Ivermectin. Penggunaan obat ini juga disebut sanggup menurunkan tingkat selesai hidup pasien sampai 90 persen.

Namun, studi ini masih banyak dipertanyakan oleh para ahli. Tak sedikit di antara mereka yang mendapatkan kejanggalan dalam studi tersebut.

Salah satunya mahasiswa pascasarjana kedokteran di London, Jack Lawrence, yang mendapati belahan pendahuluan dari makalah tersebut nyaris segalanya plagiat. Menurutnya, seluruh paragraf ditulis dari siaran pers dan situs web.

Lawrence juga meragukan data mentah dalam studi Ivermectin ini berlainan dengan protokol observasi ilmiah.

"Para penulis mengklaim observasi cuma dilaksanakan pada usia 18-80 tahun. Namun, setidaknya ada tiga pasien dalam kumpulan data berusia di bawah 18 tahun," kata Lawrence.

"Penulis juga mengklaim mereka melakukan observasi antara 8 Juni-20 September 2020, tetapi sebagian besar pasien yang meninggal dirawat di rumah sakit itu sebelum 8 Juni menurut data mentah," jelasnya.

Selain Lawrence, epidemiolog dari University of Wollongong, Australia, Gideon Meyerowitz-Katza, dan seorang analis data yang bermitra dengan Linnaeus University, Swedia, Nick Brown, juga mengungkap banyak kesalahan data terhadap observasi Ivermectin ini.

Di Indonesia sendiri penggunaan Ivermectin untuk pengobatan pasien COVID-19 masih dalam tahap uji klinis. Pengujian ini dilaksanakan di 8 rumah sakit, yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan RI.

Maka dari itu, Ivermectin belum sanggup disebut selaku 'obat COVID-19'. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah memperingatkan bahwa Ivermectin tergolong dalam golongan obat keras, sehingga tidak disarankan untuk disantap secara sembarang pilih sebab sanggup berakibat fatal.

"Apabila Ivermectin akan digunakan untuk pencegahan dan pengobatan COVID-19, mesti atas kontrak dan di bawah pengawasan dokter. Jika penduduk memperoleh obat ini bukan atas isyarat dokter, diimbau untuk berkonsultasi apalagi dulu terhadap dokter sebelum menggunakannya," tulis BPOM, Selasa (22/6/2021).



Simak Video "WHO Ingatkan Ivermectin selaku Obat COVID-19 Hanya untuk Uji Klinis!"
[Gambas:Video 20detik]

Studi Ivermectin Untuk Terapi Covid-19 Ditarik Dari Jurnal Ilmiah, Ada Apa?

Ivermectin is not a merk name: it is the generic term for the drug. Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/RapidEye

Jakarta -

Ivermectin, obat antiparasit ini lagi-lagi ramai diperbincangkan penduduk luas. Studi yang menyebut ivermectin efektif dalam menolong pengobatan pasien COVID-19 ditarik dari jurnal ilmiah alasannya yaitu duduk kasus etika.

Dikutip dari The Guardian, studi wacana efektivitas Ivermectin terhadap COVID-19 dengan judul 'Efficacy and Safety of Ivermectin for Treatment and prophylaxis of COVID-19 Pandemic' ditarik dari jurnal Research Square pada Kamis (15/7/2021) kemarin.

Diketahui, studi yang dipimpin oleh Dr Ahmed Elgazzar dari Benha University, Mesir, ini dipublikasi pada November 2020. Studi ini kerap menjadi landasan penggunaan Ivermectin untuk pengobatan pasien COVID-19 di banyak sekali negara.

"Research Square sudah menawan pracetak ini," tulis Research Square dalam laman resminya.

Studi tersebut menerangkan pasien COVID-19, yang dirawat di rumah sakit, sanggup pulih dengan segera dikala memperoleh terapi Ivermectin. Penggunaan obat ini juga disebut sanggup menurunkan tingkat janjkematian pasien sampai 90 persen.

Namun, studi ini masih banyak dipertanyakan oleh para ahli. Tak sedikit di antara mereka yang memperoleh kejanggalan dalam studi tersebut.

Salah satunya mahasiswa pascasarjana kedokteran di London, Jack Lawrence, yang mendapati bab pendahuluan dari makalah tersebut nyaris segalanya plagiat. Menurutnya, seluruh paragraf ditulis dari siaran pers dan situs web.

Lawrence juga meragukan data mentah dalam studi Ivermectin ini berbeda dengan protokol observasi ilmiah.

"Para penulis mengklaim observasi cuma ditangani pada usia 18-80 tahun. Namun, setidaknya ada tiga pasien dalam kumpulan data berusia di bawah 18 tahun," kata Lawrence.

"Penulis juga mengklaim mereka melakukan observasi antara 8 Juni-20 September 2020, tetapi sebagian besar pasien yang meninggal dirawat di rumah sakit itu sebelum 8 Juni menurut data mentah," jelasnya.

Selain Lawrence, epidemiolog dari University of Wollongong, Australia, Gideon Meyerowitz-Katza, dan seorang analis data yang berhubungan dengan Linnaeus University, Swedia, Nick Brown, juga mengungkap banyak kesalahan data terhadap observasi Ivermectin ini.

Di Indonesia sendiri penggunaan Ivermectin untuk pengobatan pasien COVID-19 masih dalam tahap uji klinis. Pengujian ini ditangani di 8 rumah sakit, yang ditangani oleh Kementerian Kesehatan RI.

Maka dari itu, Ivermectin belum sanggup disebut selaku 'obat COVID-19'. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah memperingatkan bahwa Ivermectin tergolong dalam golongan obat keras, sehingga tidak disarankan untuk dimakan secara sembarang pilih alasannya yaitu sanggup berakibat fatal.

"Apabila Ivermectin akan digunakan untuk pencegahan dan pengobatan COVID-19, mesti atas kontrak dan di bawah pengawasan dokter. Jika penduduk memperoleh obat ini bukan atas isyarat dokter, diimbau untuk berkonsultasi apalagi dulu terhadap dokter sebelum menggunakannya," tulis BPOM, Selasa (22/6/2021).



Simak Video "WHO Ingatkan Ivermectin selaku Obat COVID-19 Hanya untuk Uji Klinis!"
[Gambas:Video 20detik]

Jumat, 16 Juli 2021

Kebanjiran Konsul Gratis, Dr Riyo Keteteran Layani Pasien Yang Tak Kenal Waktu

dr Riyu sukarela membuka telemedicine gratis untuk pasien isoman COVID-19 Foto: Dok pribadi (atas izin yang bersangkutan)

Jakarta -

Sosok dr Riyo Irawan belakangan trend jadi perbincangan alasannya merupakan sukarela membuka telemedicine gratis untuk pasien isoman COVID-19 dikala urusan Corona di Indonesia melonjak.

Dokter muda yang gres berusia 24 tahun tersebut mengaku sempat kerumitan alasannya merupakan membludaknya undangan konsultasi gratis, hingga menembus ratusan bahkan seribu konsultasi per hari. Tentu, ia tak bisa membalas satu per satu di waktu bersamaan.

"Jadi sebenarnya dari tanggal 7-8 telah ada 800-an orang yang ngechat saya, nah hasilnya saya kerumitan dong, nggak mungkin juga saya balas semua," tutur dr Riyo yang melakukan pekerjaan di RSUP dr Sardjito terhadap detikcom Jumat (15/7/2021).

"Niat saya kan cuma menolong semampu saya, saya minta dukungan teman-teman saya, anak UGM (Universitas Gadjah Mada) juga, buat pengumuman ayo siapa yang akan bantu bisa join. Kita buat team dan hasilnya hingga kini per 15 Juli, ini udah ada 40 dokter," bebernya.

Sayangnya, banyak warga yang hasilnya menelepon di luar aktivitas konsultasi gratis. Sementara, dirinya mesti istirahat usai menjalani praktik di rumah sakit.

"Rata-rata juga suka telepon tengah malam, jelas-jelas ketentuannya nggak memperoleh panggilan, alasannya merupakan kami bukan IGD 24 jam gitu lho," dongeng dia.

dr Riyo menyarankan bagi mereka yang memerlukan respons atau anjuran segera, biar pribadi mengunjungi akomodasi kesehatan terdekat. Sebab, ia kembali memastikan undangan konsultasi yang masuk dikala ini membludak bahkan sering di luar kapasitas.

"Kalau misalnya dirasa urgent iya silahkan ke akomodasi kesehatan terdekat, misalnya saya di Jogja, Anda di Jakarta, ya saya bisa apa?" sembari menekankan telemedicine yang ia buka bukan platform telemedicine emergency.

Adapula beberapa pasien yang hasilnya murka alasannya merupakan tidak kunjung memperoleh respons terkait konsultasinya. Bahkan, hingga menduga konsultasi gratis yang dibuka cuma tipu-tipu.

"Ada Mbak banyak yang kaya tidak mengetahui desain sukarela dan semampu kami, gitu, kita juga kecewa dengan sikapnya yang seumpama itu namun juga banyak yang bilang pembohongan publik alasannya merupakan tidak dibalas," curhatnya.



Simak Video "Catat! Begini Alur Dapatkan Akses Telemedicine Gratis Selama Isoman"
[Gambas:Video 20detik]

Kebanjiran Konsul Gratis, Dr Riyo Keteteran Layani Pasien Yang Tak Kenal Waktu

dr Riyu sukarela membuka telemedicine gratis untuk pasien isoman COVID-19 Foto: Dok pribadi (atas izin yang bersangkutan)

Jakarta -

Sosok dr Riyo Irawan belakangan trend jadi perbincangan sebab sukarela membuka telemedicine gratis untuk pasien isoman COVID-19 di saat kasus Corona di Indonesia melonjak.

Dokter muda yang gres berusia 24 tahun tersebut mengaku sempat kerumitan sebab membludaknya undangan konsultasi gratis, hingga menembus ratusan bahkan seribu konsultasi per hari. Tentu, ia tak bisa membalas satu per satu di waktu bersamaan.

"Jadi bergotong-royong dari tanggal 7-8 telah ada 800-an orang yang ngechat saya, nah hasilnya saya kerumitan dong, nggak mungkin juga saya balas semua," tutur dr Riyo yang melakukan pekerjaan di RSUP dr Sardjito terhadap detikcom Jumat (15/7/2021).

"Niat saya kan cuma menolong semampu saya, saya minta pinjaman teman-teman saya, anak UGM (Universitas Gadjah Mada) juga, buat pengumuman ayo siapa yang akan bantu bisa join. Kita buat team dan hasilnya hingga kini per 15 Juli, ini udah ada 40 dokter," bebernya.

Sayangnya, banyak warga yang hasilnya menelepon di luar aktivitas konsultasi gratis. Sementara, dirinya mesti istirahat usai menjalani praktik di rumah sakit.

"Rata-rata juga suka telepon tengah malam, jelas-jelas ketentuannya nggak memperoleh panggilan, sebab kami bukan IGD 24 jam gitu lho," dongeng dia.

dr Riyo menyarankan bagi mereka yang memerlukan respons atau nasehat segera, agar eksklusif mengunjungi akomodasi kesehatan terdekat. Sebab, ia kembali memastikan undangan konsultasi yang masuk di sekarang ini membludak bahkan sering di luar kapasitas.

"Kalau umpamanya dirasa urgent iya silahkan ke akomodasi kesehatan terdekat, umpamanya saya di Jogja, Anda di Jakarta, ya saya bisa apa?" sembari menekankan telemedicine yang ia buka bukan platform telemedicine emergency.

Adapula beberapa pasien yang hasilnya murka sebab tidak kunjung memperoleh respons terkait konsultasinya. Bahkan, hingga menerka konsultasi gratis yang dibuka cuma tipu-tipu.

"Ada Mbak banyak yang kaya tidak mengerti desain sukarela dan semampu kami, gitu, kita juga kecewa dengan sikapnya yang menyerupai itu namun juga banyak yang bilang pembohongan publik sebab tidak dibalas," curhatnya.



Simak Video "Catat! Begini Alur Dapatkan Akses Telemedicine Gratis Selama Isoman"
[Gambas:Video 20detik]

Kebanjiran Konsul Gratis, Dr Riyo Keteteran Layani Pasien Yang Tak Kenal Waktu

dr Riyu sukarela membuka telemedicine gratis untuk pasien isoman COVID-19 Foto: Dok pribadi (atas izin yang bersangkutan)

Jakarta -

Sosok dr Riyo Irawan belakangan booming jadi perbincangan alasannya sukarela membuka telemedicine gratis untuk pasien isoman COVID-19 di saat problem Corona di Indonesia melonjak.

Dokter muda yang gres berusia 24 tahun tersebut mengaku sempat kerumitan alasannya membludaknya seruan konsultasi gratis, hingga menembus ratusan bahkan seribu konsultasi per hari. Tentu, ia tak bisa membalas satu per satu di waktu bersamaan.

"Jadi bersama-sama dari tanggal 7-8 telah ada 800-an orang yang ngechat saya, nah akibatnya saya kerumitan dong, nggak mungkin juga saya balas semua," tutur dr Riyo yang melakukan pekerjaan di RSUP dr Sardjito terhadap detikcom Jumat (15/7/2021).

"Niat saya kan cuma menolong semampu saya, saya minta pinjaman teman-teman saya, anak UGM (Universitas Gadjah Mada) juga, buat pengumuman ayo siapa yang akan bantu bisa join. Kita buat team dan akibatnya hingga kini per 15 Juli, ini udah ada 40 dokter," bebernya.

Sayangnya, banyak warga yang akibatnya menelepon di luar kegiatan konsultasi gratis. Sementara, dirinya mesti istirahat usai menjalani praktik di rumah sakit.

"Rata-rata juga suka telepon tengah malam, jelas-jelas ketentuannya nggak menemukan panggilan, alasannya kami bukan IGD 24 jam gitu lho," dongeng dia.

dr Riyo menyarankan bagi mereka yang memerlukan respons atau nasehat segera, agar pribadi mengunjungi kepraktisan kesehatan terdekat. Sebab, ia kembali memastikan seruan konsultasi yang masuk di sekarang ini membludak bahkan sering di luar kapasitas.

"Kalau umpamanya dirasa urgent iya silahkan ke kepraktisan kesehatan terdekat, umpamanya saya di Jogja, Anda di Jakarta, ya saya bisa apa?" sembari menekankan telemedicine yang ia buka bukan platform telemedicine emergency.

Adapula beberapa pasien yang akibatnya murka alasannya tidak kunjung memperoleh respons terkait konsultasinya. Bahkan, hingga menduga konsultasi gratis yang dibuka cuma tipu-tipu.

"Ada Mbak banyak yang kaya tidak mengetahui rancangan sukarela dan semampu kami, gitu, kita juga kecewa dengan sikapnya yang menyerupai itu namun juga banyak yang bilang pembohongan publik alasannya tidak dibalas," curhatnya.



Simak Video "Catat! Begini Alur Dapatkan Akses Telemedicine Gratis Selama Isoman"
[Gambas:Video 20detik]

Kebanjiran Konsul Gratis, Dr Riyo Keteteran Layani Pasien Yang Tak Kenal Waktu

dr Riyu sukarela membuka telemedicine gratis untuk pasien isoman COVID-19 Foto: Dok pribadi (atas izin yang bersangkutan)

Jakarta -

Sosok dr Riyo Irawan belakangan trend jadi perbincangan alasannya merupakan sukarela membuka telemedicine gratis untuk pasien isoman COVID-19 di saat problem Corona di Indonesia melonjak.

Dokter muda yang gres berusia 24 tahun tersebut mengaku sempat kerumitan alasannya merupakan membludaknya undangan konsultasi gratis, hingga menembus ratusan bahkan seribu konsultasi per hari. Tentu, ia tak bisa membalas satu per satu di waktu bersamaan.

"Jadi bahu-membahu dari tanggal 7-8 telah ada 800-an orang yang ngechat saya, nah kesannya saya kerumitan dong, nggak mungkin juga saya balas semua," tutur dr Riyo yang melakukan pekerjaan di RSUP dr Sardjito terhadap detikcom Jumat (15/7/2021).

"Niat saya kan cuma menolong semampu saya, saya minta santunan teman-teman saya, anak UGM (Universitas Gadjah Mada) juga, buat pengumuman ayo siapa yang akan bantu bisa join. Kita buat team dan kesannya hingga kini per 15 Juli, ini udah ada 40 dokter," bebernya.

Sayangnya, banyak warga yang kesannya menghubungi di luar jadwal konsultasi gratis. Sementara, dirinya mesti istirahat usai menjalani praktik di rumah sakit.

"Rata-rata juga suka telepon tengah malam, jelas-jelas ketentuannya nggak memperoleh panggilan, alasannya merupakan kami bukan IGD 24 jam gitu lho," kisah dia.

dr Riyo menyarankan bagi mereka yang memerlukan respons atau nasehat segera, biar eksklusif mengunjungi kepraktisan kesehatan terdekat. Sebab, ia kembali memastikan undangan konsultasi yang masuk di sekarang ini membludak bahkan sering di luar kapasitas.

"Kalau misalnya dirasa urgent iya silahkan ke kepraktisan kesehatan terdekat, misalnya saya di Jogja, Anda di Jakarta, ya saya bisa apa?" sembari menekankan telemedicine yang ia buka bukan platform telemedicine emergency.

Adapula beberapa pasien yang kesannya murka alasannya merupakan tidak kunjung memperoleh respons terkait konsultasinya. Bahkan, hingga menerka konsultasi gratis yang dibuka cuma tipu-tipu.

"Ada Mbak banyak yang kaya tidak mengetahui desain sukarela dan semampu kami, gitu, kita juga kecewa dengan sikapnya yang seumpama itu namun juga banyak yang bilang pembohongan publik alasannya merupakan tidak dibalas," curhatnya.



Simak Video "Catat! Begini Alur Dapatkan Akses Telemedicine Gratis Selama Isoman"
[Gambas:Video 20detik]

Kebanjiran Konsul Gratis, Dr Riyo Keteteran Layani Pasien Yang Tak Kenal Waktu

dr Riyu sukarela membuka telemedicine gratis untuk pasien isoman COVID-19 Foto: Dok pribadi (atas izin yang bersangkutan)

Jakarta -

Sosok dr Riyo Irawan belakangan booming jadi perbincangan alasannya merupakan sukarela membuka telemedicine gratis untuk pasien isoman COVID-19 di saat problem Corona di Indonesia melonjak.

Dokter muda yang gres berusia 24 tahun tersebut mengaku sempat kerumitan alasannya merupakan membludaknya undangan konsultasi gratis, hingga menembus ratusan bahkan seribu konsultasi per hari. Tentu, ia tak bisa membalas satu per satu di waktu bersamaan.

"Jadi bekerjsama dari tanggal 7-8 telah ada 800-an orang yang ngechat saya, nah jadinya saya kerumitan dong, nggak mungkin juga saya balas semua," tutur dr Riyo yang melakukan pekerjaan di RSUP dr Sardjito terhadap detikcom Jumat (15/7/2021).

"Niat saya kan cuma menolong semampu saya, saya minta pinjaman teman-teman saya, anak UGM (Universitas Gadjah Mada) juga, buat pengumuman ayo siapa yang akan bantu bisa join. Kita buat team dan jadinya hingga kini per 15 Juli, ini udah ada 40 dokter," bebernya.

Sayangnya, banyak warga yang jadinya menghubungi di luar jadwal konsultasi gratis. Sementara, dirinya mesti istirahat usai menjalani praktik di rumah sakit.

"Rata-rata juga suka telepon tengah malam, jelas-jelas ketentuannya nggak menemukan panggilan, alasannya merupakan kami bukan IGD 24 jam gitu lho," dongeng dia.

dr Riyo menyarankan bagi mereka yang memerlukan respons atau nasehat segera, mudah-mudahan pribadi mengunjungi akomodasi kesehatan terdekat. Sebab, ia kembali memastikan undangan konsultasi yang masuk di saat ini membludak bahkan sering di luar kapasitas.

"Kalau misalnya dirasa urgent iya silahkan ke akomodasi kesehatan terdekat, misalnya saya di Jogja, Anda di Jakarta, ya saya bisa apa?" sembari menekankan telemedicine yang ia buka bukan platform telemedicine emergency.

Adapula beberapa pasien yang jadinya murka alasannya merupakan tidak kunjung memperoleh respons terkait konsultasinya. Bahkan, hingga menerka konsultasi gratis yang dibuka cuma tipu-tipu.

"Ada Mbak banyak yang kaya tidak mengerti rancangan sukarela dan semampu kami, gitu, kita juga kecewa dengan sikapnya yang menyerupai itu tetapi juga banyak yang bilang pembohongan publik alasannya merupakan tidak dibalas," curhatnya.



Simak Video "Catat! Begini Alur Dapatkan Akses Telemedicine Gratis Selama Isoman"
[Gambas:Video 20detik]

Vaksin Covid-19 Ct Corp Masih Ada Untuk 12+ Dan 18+, Cek Jadwal Di Sini

Vaksinasi COVID-19 CT Corp masih tersedia di sejumlah lokasi, tergolong untuk usia 12 tahun ke atas. Gratis dan tidak ada syarat domisili. Foto: infografis detikHealth

Jakarta -

Vaksinasi COVID-19 CT Corp masih tersedia di sejumlah lokasi, tergolong untuk usia 12 tahun ke atas. Gratis dan tidak ada syarat domisili.

Kuota vaksin COVID-19 untuk 12 tahun ke atas masih tersedia pada aktivitas berikut:

  • Menara Bank Mega: Tgl. 17,19,21,22,24 Juli
  • Transmart Cilandak: Tgl. 30 Juli
  • Transmart Dewi Sartika Depok: Tgl. 21,22,23,24,25,28,29,30,31 Juli dan 1 Agustus

Sedangkan untuk 18 tahun ke atas, masih tersedia di jawal berikut:

  • Transmart Cempaka Putih: Tgl. 30,31 Juli dan 1 Agustus

Program ini merupakan bentuk CT Corp peduli keamanan dan kesehatan penduduk Indonesia.

Jadi untuk pelanggan setia CT Corp, secepatnya daftar detik ini juga di detik.com/vaksinctcorp.



Simak Video "Hasil Uji Coba Akhir Vaksin CureVac Kurang Ampuh Lawan COVID-19"
[Gambas:Video 20detik]

Oseltamivir-Azithromycin Tak Lagi Disarankan, Paket Isoman Covid-19 Berubah?

    Foto: Andhika Prasetia Jakarta - Rekomendasi modern para dokter tidak lagi memasukkan Oseltamivir dan Azithromycin sebagai obat terap...